BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Kegiatan pinjam meminjam uang telah
dilakukan sejak lama dalam kehidupan masyarakat yang telah mengenal uang
sebagai alat pembayaran. Dapat diketahui bahwa hampir semua masyarakat telah
menjadikan kegiatan pinjam meminjam uang sebagai alat sesuatu yang sangat
diperlukan untuk mendukung perkembangan kegiatan perekonomiannya dan untuk
meningkatkan taraf kehidupannya. Pihak pemberi pnjaman yang mempunyai kelebihan
uang bersedia meminjamkan uang kepada yang memerlukan. Sebaliknya, pihak
peminjam berdasarkan keperluan atau tujuan tertentu melakukan peminjaman uang
tersebut. Secara umum dapat dikatakan bahwa pihak peminjam meminjam uang kepada
pihak pemberi pinjaman untuk membiayai kebutuhan yang berkaitan dengan
kehidupan sehari-hari atau untuk memenuhi keperluan dana guna pembiayaan
kegiatan usahanya.
Selanjutnya dalam kegiatan pinjam
meminjam uang yang terjadi di masyarakat dapat diperhatikan bahwa umumnya
sering dipersyaratkan adanya penyerahan jaminan utang oleh pihak peminjam
kepada pihak pemberi pinjaman. Jaminan utang dapat berupa barang (benda)
sehingga merupakan jaminan kebendaan dan atau berupa janji penanggungan utang
sehingga merupakan jaminan perorangan. Jaminan kebendaan memberikan hak
kebendaan kepada pemegang jaminan.
Hukum jaminan merupakan himpunan
ketentuan yang mengatur atau berkaitan dengan peminjaman dalam rangka utang
piutang (pinjaman uang) yang terdapat dalam berbagai peraturan
perundangan-undangan yang berlaku saat ini.[1]
Bank dalam memberikan kredit kepada
pengusaha/nasabah wajib mempunyai keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan
debitur untuk melunasi utangnya sesuai dengan yang diperjanjikan, krena kredit
yang diberikan oleh bank mengandung resiko, sehingga dalam pelaksanannya bank
harus memperhatikan asas perkreditan yang sehat.[2]
Sehubungan dengan jaminan utang,
pemahaman tentang hukum jaminan sebagaimana yang terdapat dalam berbagai
peraturan perundangan-undangan yang berlaku sangat diperlukan agar pihak-pihak
yang berkaitan dengan penyerahan jaminan kredit dapat mengamankan
kepentingannya, antara lain bagi bank sebagai pihak pemberi kredit. Peraturan
perundang-undangan yang memuat ketentuan hukum jaminan yang dikodifikasi adalah
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) dan Kitab Undang-Undang Hukum
Dagang (KUH Dagang), sedangkan yang berupa undang-undang, misalnya
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta
Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah (UU No. 4 Tahun 1996), dan
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (UU No. 42 Tahun
1999).[3]
Bank dalam memberikan kredit kepada
pengusaha/nasabah wajib mempunyai keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan
debitur untuk melunasi utangnya sesuai dengan yang diperjanjikan, karena kredit
yang diberikan oleh bank mengandung resiko, sehingga dalam pelaksanaannya bank
harus memperhatikan asas-asas perkreditan yang sehat.
Untuk mengurangi resiko tersebut,
jaminan pemberian kredit dalam arti keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan
debitur untuk melunasi utangnya merupakan faktor penting yang harus
diperhatikan oleh bank.
Untuk memperoleh keyakinan
tersebut, sebelum memberikan kredit, bank harus melakukan penilaian yang
seksama terhadap watak, kemampuan, modal dan agunan serta prospek usaha
debitur, yang dalam usaha Perbankan dikenal dengan sebutan 5 c.
Jelaslah, bahwa agunan mewrupakan
salah satu syarat pemberian kredit, jadi, apabila asas 5 c terpenuhi, maka
diperoleh keyakinan atas kemampuan debitur, dan kepada debitur yang
bersangkutan dapat diberikan kredit.[4]
B.
Tujuan
Penulisan
Dari penjelasan di atas penulis
bertujuan untuk memenuhi tugas Ujian Tengah Semester pada mata kuliah Aspek
Hukum dalam Bisnis.
C.
Manfaat
Penulisan
Untuk memperdalam pemahaman mahasiswa
agar mempunyai wawasan yang luas tentang Hukum Jaminan dan Pemberian Kredit di
Perbankan.
BAB II
PERMASALAHAN
Dalam kegiatan pinjam-meminjam uang
sering dipersyaratkan adanya penyerahan jaminan utang oleh pihak peminjam
kepada pihak pemberi pinjaman. Jaminan utang dapat berupa barang (benda)
sehingga merupakan jaminan kebendaan dan atau berupa janji penanggungan utang
sehingga merupakan jaminan perorangan. Jadi sehubungan dengan jaminan utang,
maka kita harus tahu tentang apa itu hukum jaminan yang terdapat dalam
peraturan perundang-undangan agar pihak-pihak yang berkaitan dengan penyerahan
jaminan kredit dapat mengamankan kepentingannya.
Pemberian
kredit merupakan kegiatan utama bank yang mengandung risiko yang dapat
berpengaruh pada kesehatan dan kelangsungan usaha bank. Namun mengingat sebagai
lembaga intermediasi, sebagian besar dana bank berasal dari dana masyarakat,
maka pemberian kredit perbankan banyak dibatasi oleh ketentuan undang-undang
dan ketentuan Bank Indonesia.
UU
Perbankan telah mengamanatkan agar bank senantiasa berpegang pada prinsip kehati-hatian
dalam melaksanakan kegiatan usahanya, termasuk dalam memberikan kredit. Selain
itu, Bank Indonesia sebagai otoritas perbankan juga menetapkan
peraturan-peraturan dalam pemberian kredit oleh perbankan. Beberapa regulasi
dimaksud antara lain adalah regulasi mengenai Pelaksanaan Kebijaksanaan
Perkreditan Bank bagi Bank Umum, Batas Maksimal Pemberian Kredit, Pemberian
Kredit Terkait dengan Ketentuan Pembinaan dan Pengawasan Bank, dan pembatasan
lainnya dalam pemberian kredit.
Berdasarkan permasalahan
yang dikemukakan diatas, dalam makalah ini penulis akan memaparkan pembahasan
tentang Hukum Jaminan dan Pemberian Kredit Perbankan seperti
permasalahan-permasalahan di bawah ini.
- Apa saja ruang lingkup Hukum Jaminan yang mencakup berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan ?
- Bagaimana ketentuan UU Perbankan dalam pemberian kredit ?
- Bagaimana pemberian kredit dalam hukum islam ?
BAB III
PEMBAHASAN
A. Ruang
Lingkup Hukum Jaminan
Ruang lingkup hukum jaminan di Indonesia
mencakup berbagai ketentuan perundang-undangan yang mengatur hal-hal yang
berkaitan dengan penjaminan utang yang terdapat dalam hukum positif di
indonesia.
Dalam hukum positif di indonesia
terdapat peraturan perundang-undangan yang sepenuhnya mengatur tentang hal-hal
yang berkaitan dengan penjaminan utang. Materi (isi) peraturan-peraturan
perundang-undangan tersebut memuat ketentuan-ketentuan yang secara khusus
mengatur tentang hal-hal yang berkaitan dengan penjaminan utang. Beberapa
ketentuan yang terdapat dalam KUH perdata dan KUH Dagang mengatur sepenuhnya
atau berkaitan dengan penjaminan utang. Disamping itu terdapat pula
undang-undang tersendiri yaitu UU No. 4 Tahun 1996 dan UU No. 42 Tahun 1999
yang masing-masing khusus mengatur tentang lembaga jaminan dalam rangka penjaminan
utang. Sehubungan dengan berbagai peratutran perundang-unangan tersebut diatas
lebih lanjut dapat di kemukakan beberapa ketentuan hukum jaminan sebagai
berikut.[5]
Jaminan
adalah sejenis harta yang dipercayakan kepada pengadilan untuk membujuk pembebasan seorang
tersangka dari penjara, dengan pemahaman bahwa sang
tersangka akan kembali kepersidangan atau membiarkan jaminannya hangus
(sekaligus menjadikan sang tersangka bersalah atas kejahatan kegagalan kehadiran).[6]
1. Ketentuan
Hukum Jaminan dalam KUH Perdata
Dalam KUH perdata
tercantum beberapa ketentuan yang dapat digolongkan sebagai hukum jaminan.
a. Prinsip-prinsip
Hukum Jaminan
Beberapa prinsip hukum jaminan
sebagaimana yang diatur oleh ketentuan-ketentuan KUH Perdata adalah sebagai
berikut.
1) Kedudukan
Harta Pihak Peminjam
Pasal 1131 KUH Perdata mengatur tentang kedudukan
harta pihak peminjam, yaitu bahwa harta pihak peminjam adalah sepenuhnya
merupakan jaminan (tanggungan) atas utangnya.
Pasal 1131 KUH Perdata menetapkan bahwa semua harta
pihak peminjam, baik yang berupa harta bergerak maupun yang tidak bergerak,
baik yang sudah ada maupun yang akan ada di kemudian hari merupakan jaminan
atas perikatan utang pihak peminjam.
Ketentuan pasal 1131 KUH Perdata merupakan salah
satu ketentuan pokok dalam hukum jaminan, yaitu mengatur tentang kedudukan
harta pihak yang berutang (pihak peminjam) atas perikatan utangnya. Berdasarkan
ketentuan pasal 1131 KUH Perdata pihak pemberi pinjaman akan dapat menuntut
pelunasan utang pihak peminjam dari semua harta yang bersangkutan, termasuk
harta yang masih akan dimilikinya di kemudian hari. Pihak pemberi pinjaman
mempunyai hak untuk menuntut pelunasan utang dari harta yang akan diperoleh
oleh pihak peminjam di kemudian hari.
2) Kedudukan
Pihak Pemberi Pinjaman
Kedudukan pihak pemberi pinjaman terhadap pihak
pemberi pinjaman dapat diperhatikan dari ketentuan pasal 1132 KUH Perdata.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1132 KUH Perdata dapat
disimpulkan bahwa kedudukan pihak pemberi pinjaman dapat dibedakan atas dua
golongan, yaitu (1) yang mempunyai kedudukan berimbang sesuai dengan piutang
masing-masing, dan (2) yang mempunyai kedudukan didahulukan dari pihak pemberi
pinjaman yang lain berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan.
Dalam praktik perbankan pihak pemberi pinjaman
disebut kreditor dan pihak peminjam disebut nasabah debitur atau debitur.
3) Larangan
memperjanjikan pemilikan objek jaminan utang oleh pihak pemberi pinjaman
Pihak pemberi pinjaman dilarang memperjanjikan akan
memiliki objek jaminan utang bila pihak peminjam ingkar janji (wanprestasi).
Ketentuan yang demikian diatur oleh Pasal 1154 KUH Perdata tentang Gadai, Pasal
1178 KUH Perdata tentang Hipotek.
Larangan yang sama terdapat pula dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan lain, yaitu pada pasal 12 UU No. 4 Tahun 1996
mengenai Hak Tanggungan, Pasal 33 UU No. 42 Tahun 1999 mengenai Jaminan
Fidusia.
b. Gadai
Gadai diatur oleh
ketentuan-ketentuan Pasal 1150 sampai dengan Pasal 1160 KUH Perdata. Pengertian
gadai dalam Pasal 1150 KUH perdata adalah sebagai berikut.
“Gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang
berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang
berutang atau seorang lain atas namanya, dan yang memberikan kekuasaan kepada
si berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara
didahulukan daripada orang-orang berpiutang lainnya; dengan mengecualikan biaya
untuk melelang barang tersebt dan biaya yang telah dikeluarkan untuk
menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya tersebut harus
didahulukan”.[7]
Lembaga jamianan gadai dalam
praktek perbankan hanya dipakai sebagai jaminan tambahan, meskipun sebenarnya
kreditur dalam hal debiturnya ingkar janji, berhak untuk menjual objek gadai
melalui pelelangan yang dilaksanakan atas permohonan dari kreditur oleh Kantor
Lelang Negara. Dalam hal objek gadai adalah saham atau surat-surat berharga
lainnya dapat dilakukan di tempat-tempat tersebut, asalkan dengan perantaraan
dua orang makelar yang dalam perdagangan barang-barang itu.[8]
c. Hipotek
Lembaga jaminan yang diatur oleh
ketentuan KUH Perdata, pasal 1162 sampai dengan Pasal 1232 adalah Hipotek. Akan
tetapi, dengan berlakunya UU No. Tahun 1996, objek jaminan utang berupa tanah
sudah tidak dapat diikat dengan hipotek. Hipotek pada saat ini hanya digunakan
untuk mengikta objek jaminan utang yang ditunjuk oleh ketentuan peraturan
perundang-undangan lain.[9]
d. Penanggungan
Utang
Dalam bahasa Belanda disebut
Borgtocht, dalam bahasa Inggris disebut Guarantee, yang diatur dalam pasal 1820
sampai dengan pasal 1850 KUH Perdata, tidak banyak dipakai dalam bisnis
perbankan, dan andainya pun dipakai, hanya sekedar sebagai jaminan tambahan.
Hal itu disebabkan, oleh karena baik dalam personal, maupun Corporate
Guarantee, penanggung, Borg atau Guarant, tetap menguasai harta yang
dijaminkan, seperti telah tidak terjadi apa-apa, dan ia tetap dapat secara
leluasa menjual, mengoperkan dan membebankan hartanya itu dengan lembaga
jaminan yang lain, dengan perkataan lain, justru oleh karena penanggung
diperkenankan secara bebas melakukan hal-hal itu, maka kreditur tidak terjamin
secara sempurna.[10]
Adapun pengertian dari penanggungan utang dalam
pasal 1820 KUH Perdata adalah sebagai berikut.
“penanggungan utang adalah suatu perjanjian penjaminan
utang yang sangat terkait kepada perorangan (individu atau badan hukum) yang
mengikat dirinya sebagai jaminan atas utang dari pihak peminjam dan pihak yang
mengikat dirinya disebut penaggung atau penjamin.”
2. UU
No. 4 Tahun 1996 tentang Hak tanggungan
UU No. 4 Tahun 1996 mengatur
lembaga jaminan yang disebut Hak Tanggungan. Lembaga jaminan hak tanggungan
digunakan untuk mengikat objek jaminan utang yang berupa tanah atau benda-benda
yang berkaitan dengan tanah yang bersangkutan. Dengan berlakunya UU No. 4 Tahun
1996, maka hipotek yang diatur oleh KUH Perdata dan credit verband yang
sebelumnya digunakan untuk mengikat tanah sebagai jaminan utang, untuk
selanjutnya sudah tidak dapat digunakan oleh masyarakat untuk mengikat tanah
sebagai jaminan utang.
Sejak berlakunya UU No. 4 Tahun
1996 pada tanggal 9 April 1996, pengikatan objek jaminan utang berupa tanah
sepenuhnya dilakukan melalui lembaga jaminan hak tanggungan.
Adapun
pengertian hak tanggungan dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 4 Tahun 1996 adalah:
“Hak
tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana
dimaksud dalam undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentamg Peraturan Dasar
Pokok-pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan
suatu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang
memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor terhadap kreditor-kreditor
lain.”[11]
Ciri-ciri
Hak Tanggungan
Secara singkat dapat dikemukakan bahwa U No. 4 Tahun
1996 mempunyai ciri-ciri sebagai berikut.
1) Memberikan
kedudukan yang diutamakan atau mendahului kepada pemegangnya.
2) Selalu
mengikuti objek jaminan utang dalam tangan siapa pun objek tersebut berada.
3) Memenuhi
asas spesialitas dan asas publisitas.
4) Mudah
dan pasti pelaksanaan eksekusinya.
3. UU
No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia
a. Pengertian
fidusia dan jaminan fidusia
1) Fidusia
adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan
ketentuan bahwa benda yang hak kepemiliknnya dialihkan tersebut tetap dalam
penguasaan pemilik benda (pasal 1 angka 1).
2) Jaminan
fidusia adalah hak jaminan atas benda yang bergerak baik yang berwujud maupun
yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak
dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan pemberi
fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertebtu, yang memberika kedudukan
diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditor lainnya (Pasal 1 angka 2).
b. Ciri-ciri
jaminan fidusia diantaranya adalah :
1. memberikan
hak kebendaan
2. memberikan
hak didahulukan kepada kreditor
3. memungkinkan
kepada pemberi jaminan fidusia untuk tetap menguasai objek jaminan utang
4. memberikan
kepastian hukum
5. mudah
dieksekusi
c. Ruang
Lingkup Jaminan Fidusia
1) Undang-undang
ini berlaku terhadap setiap perjanjian yang bertujuan untuk membebani benda
dengan jaminan fidusia (Pasal 2).
2) Undang-undang
ini tidak berlaku terhadap hak-hak berikut:
a) Hak
tanggungan yang berkaitan dengan tanah dan bangunan, sepanjang peraturan
perundang-undangan yang berlaku menentukan jaminan atas benda-benda tersebut
wajib didaftar (Pasal 3 huruf a)
Penjelasan
Pasal 3 huruf a menjelaskan: berdasarkan ketentuan ini, bangunan diatas tanah
milik orang lain yan tidak dapat dibebani dengan hak tanggungan berdasarkan
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, dapat dijadikan objek
jaminan fidusia.
b) Hipotek
atas kapal yang terdaftar dengan isi kotor berukuran dua puluh M3
atau lebih (pasal 3 huruf b).
c) Hipotek
atas pesawat terbang (Pasal 3 huruf c)
d) Gadai
(Pasal 3 huruf d)
3. Peraturan
Pelaksanaan dari Undang-Undang tentang Penajminan Utang
Ketentuan hukum jaminan terdapat
pula pada berbagai peraturan perundang-undangan lain sebagai peraturan
pelaksanaan dari undang-undang yang mengatur peminjaman utang. Beberapa di
antara peraturan pelaksanaan tersebut berupa Peratura Pemerintah (PP) misalnya
PP No. 86 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya
Pembuatan Akta Jaminan Fidusia, PP No. 27 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah,
dan atau peraturan dari departemen atau instansi yang terkait, misalnya
peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh Kepala Badan Pertanahan
Nasional yang mengatur antara alin tentang penerbitan Akta Pemberian Hak
Tanggungan . ketentuan dari peraturan pelaksanaan kedua undang-undang tentang
lembaga jaminan tersebut merupakan pula bagian dari hukum jaminan dalam rangka
pengaturan objek jaminan utang dan pengikatannya.
B. Peraturan
Perundang-undangan Lain yang Berkaitan dengan Penjaminan Utang
Selain peraturan perundang-undangan yang
sepenuhnya atau khusus mengatur tentang hal-hal yang berkaitan dengan
penjaminan utang, terdapat pula peraturan perundang-undangan lain yang dalam
salah satu ketentuannya mengatur tentang penjaminan utang, ketentuan penjaminan
utang yang terdapat dalam berbagai peraturan perundang-undangan lain tersebut
dapat dikatakan sebagai bagian dari hukum jaminan yang berlaku.
Beberapa di antara ketentuan penjaminan
utang yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan lain misalnya yang
berupa undang-undang adalah sebagai berikut:
- Pasal 51 UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, yang menetapkan tentang lembaga jaminan yang dapat dibebankan atas tanah dan disebut Hak Tanggungan.
- Pasal 12 A UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998, yang mengatur mengenai pembelian objek jaminan kredit oleh bank pemberi kredit dalam rangka penyelesaian kredit macet debitur.
- Pasal 12 UU No. 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan, yang menetapkan mengenai pembebanan hipotek atas pesawat udara dan helicopter.
- Pasal 49 UU No. 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran, yang menetapkan mengenai pembebanan hipotek atas kapal.
- Pasal 11 ayat (2) UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2004, yang menetapkan tentang agunan untuk pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip Syariah oleh Bank Indonesia kepada bank yang mengalami kesulitan pendanaan jangka pendek
Di samping ketentuan yang hanya menunju
kepada pasal-pasal tertentu dalam undang-undangnya beserta penjelasannya, perlu
pula diperhatikan dan dipatuhi ketentuan yang ada dalam peraturan
pelaksanaannya (misalnya yang berupa peraturan pemerintah dan atau peraturan
dari instansi terkait) sepanjang memuat ketentuan yang mengatur penjaminan
utang.
BAB IV
Pemberian Kredit di
Perbankan dan Hukum Islam
A. Kredit
Perbankan di Indonesia
Dalam memberikan kredit, bank selalu
memakai prinsip 5 C, yaitu The Five Principles of Credit Analysis, yang
menghendaki penelitian yang seksama mengenai watak dan kemampuan berusaha
debitur, modal apa yang sudah di milikinya, jaminan apa yang dapat diberikan
dan keadaan perekonomian Negara pada umumnya yang sekiranya dapat mendukung
usaha debitur. Untuk mengurangi resiko kemungkinan terjadinya kredit macet,
selain melakukan analisa yang akurat berdasarkan asas 5 C tersebut di atas,
bank juga akan melakukan monitoring usaha debitur secara berkesinambungan.[12]
Landasan hukum yang pokok untuk kegiatan
perbankan di Indonesia pada saat ini adalah UU perbankan Indonesia 1992/1998.
Undang-undang tersebut mengatur tentang kelembagaan dan operasional bank
komersial di Indonesia, yaitu bank yang berfungsi melayani kebutuhan jasa
perbankan masyarakat.
1. Pemberian
Kredit menurut Ketentuan UU Perbankan Indonesia 1992/1998
Pemberian kredit adalah salah satu
kegiatan usaha yang sah bagi Bank Umum dan Perkreditan Rakyat. Kedua jenis bank
tersebut merupakan badan usaha penyalur dana kepada masyarakat dalam bentuk pemberian
kredit di samping lembaga keuangan lainnya. Dalam UU Perbankan Indonesia
1992/1998 terdapat beberapa hal yang berkaitan dengan pemberian kredit, di
antaranya adalah sebagai berikut.
a. Kredit
Berkaitan dengan Penyaluran Dana ke Masyarakat
Pasal 1 angka 2 UU Perbankan Indonesia
1992/1998 menetapkan pengertian bank sebagai berikut. “Bank adalah badan usaha
yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya
kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnyadalam
rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.”
b. Pengertian
Kredit
Kredit adalah pemberian
prestasi oleh suatu pihak lain yang akan dikembalikan lagi pada suatu masa
tertentu disertai dengan kontra prestasi berupa bunga dengan kata lain, uang
atau yang diterima sekarang akan dikembalikan pada masa yang akan datang
sedangkan dalam arti ekonomi, Kredit adalah penandaan.[13]
Pengertian formal mengenai kredit
perbankan di Indonesia terdapat dalam ketentuan Paal 1 angka 11 UU Perbankan
Indonesia 1992/1998. Undang-undang tersebut menetapkan: “kredit adalah
penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan
persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang
mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu
dengan pemberian bunga.”
Berdasarkan pengertian kredit yang
ditetapkan oleh undang-undang sebagaimna tersebut di atas, suatu
pinjam-meminjam uang akan digolongkan sebagai kredit perbankan sepanjang
memenuhi unsure-unsur sabagai berikut.
1) Adanya
penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan penyediaan uang
2) Adanya
persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain
3) Adanya
kewajiban melunasi utang
4) Adanya
jangka waktu tertentu
5) Adanya
pemberian bunga kredit
Kelima unsur yang terdapat bdalam
pengertian kredit sebagaimana yang disebutkan di atas harus dipenuhi bagi suatu
pinjaman uang untuk dapat disebut sebagai kredit di bidang perbankan. Walaupun
istilah kredit banyak pula digunakan untuk kegiatan perutangan lainnya di
masyarakat, hendaknya untuk istilah kredit dalam kegiatan perbankan selalu
dikaitkan dengan pengertian yang ditetapkan oleh ketentuan Pasal 1 angka 11 UU
Perbankan Indonesia 1992/1998.
c. Pemberian
Kredit adalah Usaha yang Sah bagi Bank
Pasal 6 huruf b dan Pasal 13 huruf b UU
Perbankan Indonesia 1992/1998 masing-masing menetapkan kredit sebagai usaha
bagi Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat. Dengan dicantumkan pemberian kredit
sebagai usaha bank dalam ketentuan undang-undang, maka kegiatan pemberian
pinjaman uang ke masyarakat yang dilakukan bank telah mempunyai dasar hokum
yang kuat. Bank dengan demikian tidak dapat digolongkan sebagai rentenir atau
lintah darat yang sering tidak disukai oleh masyarakat. Pemberian kredit adalah
usaha yang sah bagi bank sebagai badan usahadan sesuai dengan salah satu fungsi
utamanya sebagai penyalur dana masyarakat.
d. Pelaksanaan
Pemberian Kredit
Menurut Pasal 8 UU Perbankan Indonesia
1992/1998, dalam melaksanakan kegiatan usahanya yang berupa pemberian kredit,
bank antara lain:
1) Wajib
mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad dan
kemampuan serta kesanggupan debitur untuk melunasi utangnya sesuai dengan yang
diperjanjikan (Pasal 8 ayat (1));
2) Memiliki
dan menerapkan pedoman perkreditan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh
Bank Indonesia (Pasal 8 ayat (2));
Sehubungan dengan ketentuan
undang-undang yang mengatur tentang pelaksanaan pemberian kredit tersebut di
atas, maka Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat wajib melakukan analisis
kredit yang mendalam atas permohonan kredit yang diajkan oleh calon debitur,
dan memiliki serta menerapkan pedoman perkreditan dalam melaksanakan
perkreditannya.
a) Analisis
kredit
Mengenai keyakinan berdasarkan analisis
yang mendalam atas iktikad dan kemampuan serta kesanggupan debitur untuk
melunasi utangnya sesuai dengan ang diperjanjikan, maka hal itu dijelaskan
lebih lanjut oleh penjelasan Pasal 8 ayat (1).
Berdasarkan analisis kredit yang
dilakukannya, bank akan memberikan keputusan menolak atau menyutujui permohonan
calon debitur. Oleh karena itu, setiap analisis kredit harus memuat penilaian
yang lengkap dan sempurna sehingga dapat dipertanggung jawabkan sesuai dengan
peraturan intern dan peraturan perundang-undangan lainnya.
b) Pedoman
perkreditan
Kewajiban memiliki dan menerapkan
pedoman perkreditan sebagaimana yang ditetapkan oleh ketentuan pasal 8 ayat (2)
lenih lanjut diatur dengan SK Direksi BI No. 27/162/KE/DIR.
SK Direksi BI tersebut menetapkan
kewajiban semua Bank Umum untuk memiliki dan menerapkan Kebijaksanaan
Perkreditan Bank (KBP) dalam pelaksanaan kegiatan perkreditannya dan juga
melampirkan Pedoman Penyusunan Kebijaksanaan Perkreditan Bank (PPKPB).
KPB yang kemudian disertai dengan Petunjuk
Palaksanaan Kredit (PPK) merupakan peraturan intern masing-masing Bank yang
harus dipatuhi dalam pelaksanaan pemberian kreditnya.
e. Batas
Maksimum Pemberian Kredit
Pasal 11 UU Perbankan Indonesia
1992/1998 menetapkan ketentuan Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) yang
berlaku antara lain untuk pemberian kredit oleh bank kepada peminjam atau
sekelompok peminjam atau pihak yang terkait dengan bank. BMPK yang ditetapkan
bagi peminjam atau sekelompok peminjam yang tidak terkait dengan bank adalah
tidak melebihi 30% dari modal bank yang sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan
oleh Bank Indonesia dan bagi pihak yang terkait dengan bank tidak melebihi 10%
dari modal bank. Ketentuan lebih lanjut mengenai BMPK tersebut diatur oleh PBI
No 7/3/PBI/2005 dan perubahannya dengan PBI No. 8/13/PBI/2006.
Selanjutnya, dari penjelasan Pasal 11
yang menjelaskan tentang B<PK tersebut dapat disimpulkan antara lain sebagai
berikut.
1) Pemberian
kredit mengandung resiko kegagalan atau kemacetan dalam pelunasannya sehingga
dapat berpengaruh terhadap kesehatan bank. Risiko yang dihadapi bank dapat
berpengaruh pula kepada keamanan dana masyarakat yang disimpan di bank.
2) Oleh
karena itu, untuk memelihara kesehatan dan meningkatkan daya tahannya, bank
diwajibkan menyebar resiko dengan mengatur penaluran kredit sedemikian rupa
sehingga tidak terpusat pada debitur atau kelompok debitur tertentu.
Terhadap
pelanggaran ketentuan BMPK di kenakan sanksi oleh Bank Indonesia sesuai dengan
ketentuan yang tercantum dalam PBI No 7/3/PBI/2005 dan perubahannya dengan PBI
No. 8/13/PBI/2006.
f. Pemberian
Kredit Terkait dengan Ketentuan Pembinaan dan Pengawasan Bank
Pasal 29 ayat (3) UU Perbankan Indonesia
1992/1998 menetapkan bahwa dalam pemberian kredit, bank wajib menempuh
cara-cara yang tidak merugikan bank dan kepentingan nasabah yang mempercayakan
dananya kepada bank
Dari penjelasan Pasal 29 ayat (1), ayat
(2), dan ayat (3) dapat diketahui hal sebagai berkut.
1) Bank
wajib memiliki dan menerapkan system pengawasan intern dalam rangka menjamin
terlaksananya proses pengambilan keputusan dalam pengelolaan bank yang sesuai
dengan prinsip kehati-hatian.
2) Mengingat
bank terutama bekerja dengan dana dari masyarakat yang dismpan pada bank atas
dasar kepercayaan, setiap bank oerlu terus menjaga dan memelihara kepercayaan
masyarakat padanya.
Dengan
memperhatikan ketentuan pasal 29 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Perbankan
Indonesia 1992/1998 dan penjelasannya tersebut, pemberian kredit harus mendapat
pengawasan berdasarkan system pengawasan intern yang berlaku pada masing-masing
bank agar dapat menjaga kesehatannya dan memelihara kepercayaan masyarakat
kepadanya.
Demikian beberapa hal yang diatur oleh
ketentuan UU perbankan Indonesia 1992/1998 yang berkaitan dengan kredit
perbankan. Hal lain mengenai pengaturan pemberian kredit adalah yang berkaitan
dengan ketentuan sanksi pidana dan administratif yang tercantum dalam
undang-undang tersebut[14]
g. Unsur-unsur kredit, terdiri dari:
·
Kepercayaan: Kredit diberikan atas dasar kepercayaan
·
Waktu: Kredit selalu ada jangka waktunya
·
Risiko: Setiap kredit selalu mengandung unsur risiko
·
Prestasi: Kredit mengandung prestasi berupa pembayaran bunga
Walaupun
pemberian kredit didasarkan atas kepercayaan, tetapi penilaian atas kepercayaan
tadi harus memenuhi kriteria Five C’s (Character, Capacity,
Capital, Condition dan Collateral), serta
didokumentasikan, sehingga siapapun yang membaca dasar penilaian pemberian
kredit mempunyai persepsi yang sama.
h. Tujuan Pemberian Kredit
·
Bagi bank: a) Profitability, artinya ada keuntungan
yang diperoleh secara wajar b) Safety, artinya harus aman dengan risiko
yang telah dimitigasi sebelumnya.
·
Bagi nasabah: memberikan manfaat yang positif bagi
masyarakat luas, dan meningkatkan produktivitas usaha.
·
Bagi masyarakat umum: dapat menunjang pertumbuhan ekonomi
nasional, dan meningkatkan kesempatan kerja.
i.
Prosedur Kredit
·
Merencanakan Pasar Sasaran. Bank harus mempunyai
perencanaan, pasar mana yang akan dituju dalam memasarkan kreditnya, misalkan
fokus pada sektor ritel/
·
Menentukan kriteria risiko yang dapat diterima. Bank hanya
memasarkan kredit apabila kriteria risikonya jelas dan dapat dimitigasi,
misalkan dengan: menetapkan limit exposure, jenis usaha (dibuat
ratingnya, dan rating apa saja yang layak dibiayai), lokasi dsb nya.
·
Menentukan kriteria nasabah kredit yang diberikan, berdasar
pada kriteria nasabah yang jelas.
j.
Putusan Kredit
Setiap
pemberian kredit harus melalui mekanisme proses dan prosedur baku, antara lain:
·
Ada permohonan kredit secara tertulis
·
Dilengkapi dengan dokumen yang dipersyaratkan
·
Disertai dengan proposal kredit
·
Dibuat rekomendasi dan putusan kredit
·
Dibuat pemberitahuan putusan kredit secara tertulis
·
Melakukan perjanjian kredit secara hukum
·
Proses pencairan kredit
·
Melakukan pengawasan dan evaluasi
Pada
dasarnya tujuan pemberian kredit haruslah didasarkan pada kelayakan usaha, agar
usaha yang dibiayai dapat berkembang, menyerap tenaga kerja, dan pada akhirnya
dapat menyumbang peningkatan ekonomi masyarakat disekitarnya.[15]
B. Pemberian
Kredit dalam Hukum Islam
1. Kredit
dalam Hukum Islam
Pengertian kredit dalam hukum islam
seperti di kemukakan dalam system perbankan dengan prinsip syariah istilah
kredit menjadi berubah menjadi istilah pembiayaan, hal ini dapat dijelaskan
dalam pasal 1 angka 12 UU no. 10 tahun 1998 yang menyebutkan :
“Pembiayaan berdasarkan prinsip syariah adalah
penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan
persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang
mewajibkan pihak yang di biayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut
setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil”.[16]
Dalam wacana hukum islam,
pembiayaan merupakan bagian dari pinjam meminjam. Oleh karena itu dapat
dikemukakan bahwa pinjam meminjam merupakan perjanjian yang bertimbal balik
(dua pihak) diman pihak yang satu memberikan suatu barang yang tidak habis
karena pemakaian, dengan ketentuan bahwa pihak yang menerima akan mengembalikan
barang tersebut sebagaimana yang diterimanya.[17]
- Islam dan Kredit
Menurut Anwar Iqbal Qureshi,
fakta-fakta yang objektif menegaskan bahwa islam melarang setiap pembungaan
uang. Hal ini tidak berarti bahwa islam melarang perkreditan sebab menurut
Qureshi system perekonomian modern tidak akan lancar tanpa adanya kredit dan
pinjaman.[18]
Pinjaman atau uang dapat dibagi ke dalam dua jenis :
- Pinjaman yang tidak dapat menghasilkan, yaitu pinjaman yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari (konsumtif)
- Pinjaman yang membawa hasil, yaitu pinjaman yang dibutuhkan seseorang untuk menjalankan suatu usaha (produktif)
Bentuk utang yang dilakukan untuk
memenuhi kebutuhan rumah tangga atau keperluan-keperluan hidup lainnya. Islam
menyadari pentingnya pinjaman ini, tetapi pinjaman ini dilakukan semata-mata
untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Bagi mereka yang tidak mampu membayar
utangnya secara berangsur-angsur atau kontan (tunai) dianjurkan oleh agama
islam agar utang orang etrsebut benar-benar dalam keadaan terdesak. Dalam islam
dianjurkan apabila peminjam yang jatuh miskin (bangkrut) karena pinjaman itu,
utangnya wajib ditunda pembayarannya.
Langkah-langkah penyelesaian seseorang
yang berutang dan tidak mampu membayarnya, pertama diberi penundaan waktu
pembayaran (perpanjangan waktu peminjaman). Apabila dalam perpanjangan waktu
itu tidak bias melunasi, maafkanlah dia dan anggap saja utang itu sebagai
shodaqoh. Hal ini akan lebih baik bagi yang meminjamkan.[19]
Hukum
kredit berdasarkan beberapa dalil-dalil berikut:
Dalil pertama: Keumuman firman
Allah Ta’ala:
“Hai orang-orang yang
beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang
ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (Qs. Al
Baqarah: 282)
Ayat ini adalah salah satu dalil yang menghalalkan adanya praktek
hutang-piutang, sedangkan akad kredit adalah salah satu bentuk hutang, maka
dengan keumuman ayat ini menjadi dasar dibolehkannya perkreditan.
Dalil kedua: Hadits riwayat ‘Aisyah
radhiaalahu ‘anha.
“Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam membeli sebagian bahan makanan dari seorang yahudi
dengan pembayaran dihutang, dan beliau menggadaikan perisai beliau kepadanya.”
(Muttafaqun ‘alaih)
Pada hadits ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli
bahan makanan dengan pembayaran dihutang, dan sebagai jaminannya, beliau
menggadaikan perisainya. Dengan demikian hadits ini menjadi dasar dibolehkannya
jual-beli dengan pembayaran dihutang, dan perkreditan adalah salah satu bentuk
jual-beli dengan pembayaran dihutang.
Dalil ketiga: Hadits Abdullah bin
‘Amer bin Al ‘Ash radhiallahu ‘anhu.
أ “Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkanku untuk mempersiapkan
suatu pasukan, sedangkan kita tidak memiliki tunggangan, Maka Nabi
memerintahkan Abdullah bin Amer bin Al ‘Ash untuk membeli tunggangan dengan
pembayaran ditunda hingga datang saatnya penarikan zakat. Maka Abdullah bin
Amer bin Al ‘Ashpun seperintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
membeli setiap ekor onta dengan harga dua ekor onta yang akan dibayarkan ketika
telah tiba saatnya penarikan zakat. Riwayat Ahmad, Abu Dawud, Ad Daraquthni dan
dihasankan oleh Al Albani.
Pada kisah ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
memerintahkan sahabat Abdullah bin ‘Amer Al ‘Ash untuk membeli setiap ekor onta
dengan harga dua ekor onta dengan pembayaran dihutang. Sudah dapat ditebak
bahwa beliau tidak akan rela dengan harga yang begitu mahal, (200 %) bila
beliau membeli dengan pembayaran tunai. Dengan demikian, pada kisah ini, telah
terjadi penambahan harga barang karena pembayaran yang ditunda (terhutang).
Dalil keempat: Keumuman hadits salam (jual-beli dengan pemesanan).
Diantara
bentuk perniagaan yang diijinkan syari’at adalah dengan cara salam, yaitu
memesan barang dengan pembayaran di muka (kontan). Transaksi ini adalah
kebalikan dari transaksi kredit. Ketika menjelaskan akan hukum transaksi ini,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mensyaratkan agar harga
barang tidak berubah dari pembelian dengan penyerahan barang langsung. Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam hanya bersabda:
“Barang siapa yang
membeli dengan cara memesan (salam), hendaknya ia memesan dalam takaran yang
jelas dan timbangan yang jelas dan hingga batas waktu yang jelas pula.”
(Muttafaqun ‘Alaih)
Pemahaman
dari empat dalil di atas dan juga lainnya selaras dengan kaedah dalam ilmu
fiqih, yang menyatakan bahwa hukum asal setiap perniagaan adalah halal.
Berdasarkan kaedah ini, para ulama’ menyatakan bahwa: selama tidak ada dalil
yang shahih nan tegas yang mengharamkan suatu bentuk perniagaan, maka
perniagaan tersebut boleh atau halal untuk dilakukan.
Adapun
sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Barang
siapa yang menjual jual penjualan dalam satu penjualan maka ia hanya dibenarkan
mengambil harga yang paling kecil, kalau tidak, maka ia telah terjatuh ke dalam
riba.” Riwayat At Tirmizy dan lain-lain.
Maka
penafsirannya yang lebih tepat ialah apa yang dijelaskan oleh Ibnul Qayyim dan
lainnya, bahwa makna hadits ini adalah larangan dari berjual beli dengan cara
‘inah. Jual beli ‘Innah ialah seseorang menjual kepada orang lain suatu barang
dengan pembayaran dihutang, kemudian seusai barang diserahkan, segera penjual
membeli kembali barang tersebut dengan dengan pembayaran kontan dan harga yang
lebih murah.[20]
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Ketentuan yang terdapat dalam KUH
perdata dan KUH Dagang mengatur sepenuhnya atau berkaitan dengan penjaminan
utang. Disamping itu terdapat pula undang-undang tersendiri yaitu UU No. 4
Tahun 1996 dan UU No. 42 Tahun 1999 yang masing-masing khusus mengatur tentang
lembaga jaminan dalam rangka penjaminan utang.
Pasal 1131 KUH Perdata mengatur tentang
kedudukan harta pihak peminjam, yaitu bahwa harta pihak peminjam adalah
sepenuhnya merupakan jaminan (tanggungan) atas utangnya. Ketentuan pasal 1131
KUH Perdata merupakan salah satu ketentuan pokok dalam hukum jaminan, yaitu
mengatur tentang kedudukan harta pihak yang berutang (pihak peminjam) atas perikatan
utangnya. Berdasarkan ketentuan pasal 1131 KUH Perdata pihak pemberi pinjaman
akan dapat menuntut pelunasan utang pihak peminjam dari semua harta yang
bersangkutan, termasuk harta yang masih akan dimilikinya di kemudian hari.
Pihak pemberi pinjaman mempunyai hak untuk menuntut pelunasan utang dari harta
yang akan diperoleh oleh pihak peminjam di kemudian hari.
Ketentuan Pasal 1132 KUH Perdata dapat
disimpulkan bahwa kedudukan pihak pemberi pinjaman dapat dibedakan atas dua
golongan, yaitu (1) yang mempunyai kedudukan berimbang sesuai dengan piutang
masing-masing, dan (2) yang mempunyai kedudukan didahulukan dari pihak pemberi
pinjaman yang lain berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan.
Gadai
adalah suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu barang bergerak,
yang diserahkan kepadanya oleh seorang berutang atau seorang lain atas namanya,
dan yang memberikan kekuasaan kepada si berpiutang itu untuk mengambil
pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan daripada orang-orang berpiutang
lainnya; dengan mengecualikan biaya untuk melelang barang tersebt dan biaya
yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan,
biaya-biaya tersebut harus didahulukan. (Pasal 1150 KUH Perdata)
Lembaga jaminan yang diatur oleh ketentuan
KUH Perdata, pasal 1162 sampai dengan Pasal 1232 adalah Hipotek.
Penanggungan utang
adalah suatu persetujuan yang dibuat oleh seorang pihak ketiga untuk
kepentingan pihak pemberi pinjaman dengan mengikatkan dirinya guna memenuhi
perikatan pihak peminjam bila pihak peminjam wanprestasi terhadap pihak pember
pinjaman. (Pasal 1820 KUH Perdata)
Hak tanggungan
adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud
dalam undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentamg Peraturan Dasar Pokok-pokok
Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan suatu
kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan
kedudukan yang diutamakan kepada kreditor terhadap kreditor-kreditor lain.
(Pasal 1 angka 1 UU No. 4 Tahun 1996)
Ciri-ciri
Hak Tanggungan :
- Memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahului kepada pemegangnya.
- Selalu mengikuti objek jaminan utang dalam tangan siapa pun objek tersebut berada.
- Memenuhi asas spesialitas dan asas publisitas.
- Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya.
UU
No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia
Fidusia
adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan
ketentuan bahwa benda yang hak kepemiliknnya dialihkan tersebut tetap dalam
penguasaan pemilik benda (pasal 1 angka 1).
Jaminan fidusia
adalah hak jaminan atas benda yang bergerak baik yang berwujud maupun yang
tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat
dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun
1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia,
sebagai agunan bagi pelunasan utang tertebtu, yang memberika kedudukan
diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditor lainnya (Pasal 1 angka 2).
Pengertian formal mengenai kredit
perbankan di Indonesia terdapat dalam ketentuan Paal 1 angka 11 UU Perbankan
Indonesia 1992/1998. Undang-undang tersebut menetapkan: “kredit adalah
penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan
persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang
mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu
dengan pemberian bunga.”
Firman
Allah Ta’ala:
“Hai orang-orang yang
beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang
ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (Qs. Al
Baqarah: 282)
Ayat
ini adalah salah satu dalil yang menghalalkan adanya praktek hutang-piutang,
sedangkan akad kredit adalah salah satu bentuk hutang, maka dengan keumuman ayat
ini menjadi dasar dibolehkannya perkreditan.
Hadits
riwayat ‘Aisyah radhiaalahu ‘anha.
“Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam membeli sebagian bahan makanan dari seorang yahudi
dengan pembayaran dihutang, dan beliau menggadaikan perisai beliau kepadanya.”
(Muttafaqun ‘alaih)
Pada hadits ini, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam membeli bahan makanan dengan pembayaran dihutang, dan
sebagai jaminannya, beliau menggadaikan perisainya. Dengan demikian hadits ini
menjadi dasar dibolehkannya jual-beli dengan pembayaran dihutang, dan
perkreditan adalah salah satu bentuk jual-beli dengan pembayaran dihutang.
fakta-fakta yang objektif menegaskan
bahwa islam melarang setiap pembungaan uang. Hal ini tidak berarti bahwa islam
melarang perkreditan sebab menurut Qureshi system perekonomian modern tidak
akan lancar tanpa adanya kredit dan pinjaman
B. SARAN
Membahas aspek hukum bagi pemohon kredit
atau pemilik jaminan bertujuan agar bank memahami secara pasti apakah pemohon
kredit atau pemilik jaminan termasuk orang atau badan usaha yang berhak untuk
melakukan tindakan hukum atau tidak.
Sedangkan jika dilihat dari aspek
legalitas bertujuan agar bank dapat memastikan apakah usaha yang dikelola
pemohon kredit atau pemilik jaminan merupakan usaha yang legal dan tidak melanggar
hukum dan telah memenuhi segala persyaratan hukum yang ditentukan oleh hukum
perundang-undangan yang berlaku untuk menjalankan usahanya.
Pada prinsipnya yang menjadi subyek
hukum dalam perkreditan adalah perorangan atau manusia pribadi dan badan usaha.
Dalam hal ini yang dimaksud dengan
perorangan atau manusia pribadi adalah setiap orang yang lahir dan masih hidup
dan telah cakap dalam melakukan tindakan hukum. Cakap dapat diartikan telah
dewasa atau sudah menikah dan sedang tidak berada dibawah pengampuan. Jadi
dengan kata lain untuk pengajuan kredit atau menjadi debitur harus telah
berusia 21 tahun atau sudah menikah.
Sedangkan badan usaha dapat diartikan
suatu perkumpulan yang memenuhi syarat-syarat tertentu berdasarkan hukum
perundangan yang berlaku. Badan usaha tidak hanya dapat diartikan perseroan
terbatas tapi juga persekutuan perdata, firma atau perseroan komanditer yang
lebih dikenal masyarakat dengan CV. Syarat-syarat umum yang harus dipenuhi oleh
badan usaha dalam pengajuan kreditpun harus jelas.
[1] M. Bahsan S.H., S.E., Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan
Indonesia, h. 1-3
[2] Suharnoko, SH., LL.M., Hukum Perjanjian: Teori dan Analisa Kasus,
h. 1
[3] M. Bahsan S.H., S.E., Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan
Indonesia, h. 5-6
[4] Penelitian Tentang
Perlindungan Hukum Eksekusi Jaminan Kredit, h. 1
[5] M. Bahsan S.H., S.E., Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan
Indonesia, h. 8
[7] R. Subekti & R.
Tjitrosudibjo, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata., h. 248
[8] Penelitian Tentang
Perlindungan Hukum Eksekusi Jaminan Kredit, h. 9
[9] M. Bahsan S.H., S.E., Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan
Indonesia, h. 15
[10] Penelitian Tentang Perlindungan
Hukum Eksekusi Jaminan Kredit, h. 9-10
[11] Pasal 1 angka (1) Undang-undang
No. 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-benda yang
berkaitan Dengan Tanah.
[12] Penelitian Tentang
Perlindungan Hukum Eksekusi Jaminan Kredit, h. 14
[14] M. Bahsan S.H., S.E., Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan
Indonesia, h. 74-8
[15] http://edratna.wordpress.com/2007/09/04/kebijakan-perkreditan-merupakan-dasar-pemberian-pinjaman-yang-sehat/
[16] Redaksi Sinar Grafika,
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, h. 10
[17] Chairuman Pasaribu dan
Suharwardi K. Lubis, Hukum Perjanjian dalam Islam, h. 133
[18] Anwar Iqbal Qureshi,
Islam dan Teori Pembungaan Uang, h. 111
[19] Hendi Suhendi, Fiqih
Mu’amalah, h. 300-301
[20] http://www.pengusahamuslim.com/fatwa-perdagangan/hukum-hukum-perdagangan/418-fatwa-hukum-perkreditan-masalah-dan-solusinya.html
Saya menggunakan waktu ini untuk memperingatkan semua rekan saya INDONESIANS.Who telah berlangsung sekitar mencari pinjaman, Anda hanya harus berhati-hati. satu-satunya tempat dan perusahaan yang dapat menawarkan pinjaman Anda adalah QUALITYLOANLTD. Aku punya pinjaman saya dari mereka. Mereka adalah satu-satunya pemberi pinjaman yang sah di internet. Lainnya adalah semua pembohong, saya menghabiskan hampir 32 juta di tangan pemberi pinjaman palsu. Tapi qualityloan memberi saya mimpi saya kembali. Ini adalah alamat email asli mereka: qualityloanltd@qualityservice.com. email pribadi saya sendiri: hidayat_taufik1161@yahoo.co.id. Anda dapat berbicara dengan saya kapan saja Anda inginkan. Terima kasih semua untuk mendengarkan permintaan untuk saran saya.
BalasHapusPINJAMAN THERESA
BalasHapusKami saat ini menyediakan pinjaman untuk taruhan Asia Tengah, Amerika, dunia liar
negara, dll. @ 2% Suku Bunga tanpa PENGENDALIAN KREDIT dari USD5000, hingga miliaran dolar selama 12-144 Bulan.
Remunerasi Pinjaman kami dimulai dalam 3 bulan setelah penerima menerima pinjaman pada hari persetujuan dan kami menawarkan variasi
pinjaman, termasuk:
* Konsolidasi hutang
* Pinjaman Bisnis
* Pinjaman pribadi
* Kredit Pemilikan Rumah
* Kredit Pembiayaan Mobil
✔. Daftar hitam bisa berlaku
✔. TANPA CHECK KREDIT
✔. Tinjauan hutang atau perintah pengadilan mungkin berlaku
✔.ETC dapat diterapkan.
Pinjaman Tunai Theresa Perusahaan ini adalah a
film pinjaman terdaftar dan resmi dan kami menawarkan pinjaman kepada semua warga yang masuk daftar hitam, TANPA PERIKSA KREDIT.
Ajukan sekarang dengan nomor ponsel Anda, nomor ID, nama lengkap, jumlah pinjaman dan periode pinjaman ke Email
: Theresaloancompany@gmail.com nomor kantor ++ 12817208403
Untuk kejelasan lebih lanjut, jangan ragu untuk menghubungi kami atau WhatsApp (+12817208403).
Salam Hormat,
Ada
Pengiklan Pinjaman (Pr),
Pinjaman theresa 📩
Stainless Steel Rod in Legit Sports - Titanium Arts
BalasHapusThis titanium engagement rings classic set is the perfect example of 다파벳 steel rods with the most corrosion resistant designs. titanium iv chloride This stainless titanium dive watch steel design gold titanium comes in an
g939r8pncuq843 finger vibrator,horse dildo,penis pumps,sex chair,sex chair,sex chair,penis rings,female sex toys,dildos m760m3kpjpz031
BalasHapus